Budaya
literasi, sebuah budaya yang digalakkan oleh SMAN 5 Surabaya ini memiliki
banyak manfaat dan dampak bagi Smalane. ”Tanpa membaca pendidikan akan mati,”
dapat diartikan bahwa membaca ialah batu loncatan bagi suatu keberhasilan
pendidikan. Budaya literasi ini mewajibkan Smalane untuk menyisihkan waktu 15
menit dalam sehari untuk membaca buku. Buku yang dimaksud ialah buku novel atau
kumpulan cerpen-cerpen. Buku yang dibaca ada yang berjenis fiksi dan non fiksi.
Ketika diadakan survey, mayoritas Smalane membaca buku berjenis fiksi. Banyak alasan
yang mereka utarakan, misalnya ceritanya unik, alur ceritanya yang tidak biasa,
dan banyak kejadian-jadian baru yang mereka dapatkan dari membaca novel. Selain
membaca kita juga ikut membayangkan segala peristiwa yang ada dalam novel
tersebut. Hal ini dituturkan langsung oleh Erike Anisa Nurshafa dari kelas X.5.
Membahas tentang
perkembangan budaya literasi sampai saat ini di SMAN 5 Surabaya, setiap hari
para Smalane masih mengikuti budaya tersebut dan karena budaya ini pula banyak
Smalane yang menjadi ketagihan dan melanjutkan membaca di rumah. “Budaya
literasi dikelasku tergantung guru jam pertama. Kalau gurunya menyuruh membaca,
kelasku membaca, dan sebaliknya. Kalau aku sendiri membacanya di rumah, di
sekolah menulis resumenya tetapi kadang malas untuk tanda tangannya. Menurutku
budaya literasi semakin menurun soalnya tidak ada penyetoran resume tiap bulan
pada sekolah,” tutur Erike Anisa Nurshafa. Hal ini berbeda dengan pendapat Naurah
X.7, “Lumayan sering melakukan budaya literasi, tetapi bacaan yang dibaca
terkadang buku pelajaran karena pada jam pertama akan ada ulangan pelajaran
itu. Menurutku budaya literasi ialah budaya yang ditumbuhkan SMAN 5 Surabaya
untuk menghasilkan generasi yang gemar membaca.”
“Gak tau nih dampak budaya literasi. Tak ada esensinya. Yang terlihat
novel semakin berceceran dan suka pinjam novel ditambah suka nge-share novel bagus,” tutur Erike Anisa
Nurshafa. “Dapat pelajaran setelah membaca. Emosi juga dipermainkan saat
membaca novel fiksi, seperti menangis,” kata Naurah X.7 saat dimintai
keterangan mengenai dampak budaya literasi.
Ternyata
tidak mudah membaca fiksi. Mengapa? Dalam cerita fiksi yang sering kita temui,
terdiri dari kalimat-kalimat narasi yang menggugah, latar, alur, dan fantasi
atau khayalan yang belum pernah kita temui yang membuat emosi kita terasa
digelitik. Emosi yang dimaksud seperti kita suka menangis saat membaca cerita
yang sedih, tertawa terpingkal-pingkal saat membaca cerita konyol dan komedi,
merasa marah saat tokoh dalam cerita melakukan hal bodoh yang membuat tokoh
lain dalam bahaya, dan lain-lain. Pernah tidak kalian berpikir bahwa membaca
cerita horor membuat kita berada dalam dunia nyata dan dunia khayalan yang
dibuat oleh pengarang buku. Tidak sedikit orang yang mencari dan membaca cerita
fiksi untuk mempermainkan perasaan yang nantinya akan mengobati dan mencukupi
kebutuhan emosi mereka.
Saat membaca novel atau cerita fiksi lainnya
diharapkan pembaca dapat mengendalikan emosinya. Boleh saja menggunakan emosi
saat membaca tetapi tidak perlu menggunakannya secara berlebihan. Saat membaca
novel atau cerita fiksi tersebut juga harus menyadari bahwa yang ada didalamnya
hanya cerita fiksi atau karangan belaka, serta jangan pernah meniru atau
terlalu terpengaruh dengan hal-hal seperti itu. Sebaiknya kita harus mengambil
hal-hal yang sekiranya bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, nusa dan
bangsa.
Dibawah
ini ialah tips untuk menjaga kesehatan emosi dalam membaca novel atau cerita
fiksi lainnya.
Pertama, novel itu novel, cerita
fiksi itu cerita fiksi. Artinya, saat membaca novel atau cerita fiksi semua
anggapan atau dugaan bahwa mungkin kisah atau tragedi ini bisa terjadi di dunia
nyata bisa dikesampingkan lebih dulu. Menegnai kenyataan atau fakta-fakta dapat
didapatkan dari buku non fiksi, koran, dan bacaan yang mengandung kenyataan
bukan opini.
Kedua, penting halnya dalam
persiapan membaca. Usahakan emosi stabil sebelum membaca novel atau cerita
fiksi, terutama yang mengangkat tema atau konflik yang tajam. Kalau memang ingin
mencari gelitik emosi dari bacaan-bacaan fiksi, carilah yang tidak monoton, maksudnya
emosinya bukan hanya senang atau sedih atau datar saja, tetapi ada kalanya
lucu, mengesankan, menyeramkan dan lain-lain, serta nikmati bacaan itu dengan
ekspresi. Ternyata ada survey yang membuktikan bahwa pengaruh emosi dari
membaca intens buku setebal minimal 50 halaman jauh lebih tinggi daripada
menonton film berdurasi 2 jam.
Ketiga , Setelah
membaca novel atau cerita fiksi yang lain, cepat-cepatlah kembali ke dunia
nyata. Bersosialisasilah serta menghadapi kenyataan yang ada. Fase ini akan
membantu membawa skala emosi keluar dari ruang dunia nyata dan khayal untuk kembali
mengenali fase-fase emosi yang bisa terasa dengan pengaktivan panca indera
secara simultan dan holistik. Angin yang menerpa kulit dan rambut secara
langsung akan lebih menyehatkan daripada perasaan semilir yang timbul dari
adegan santai di taman di dalam cerita fiksi.
Yupz, bagaimana Smalane? Sekarang kita telah
mengetahui bahwa dalam membaca cerita fiksi atau novel kita melibatkan emosi
kita dan sebaiknya kita menjaga kesehatan emosi kita. Kita hidup dalam dunia
nyata bukan dalam dunia khayal yang dapat kita tentukan awal dan akhirnya. So, bacalah dan ambil manfaat dari
setiap bacaan yang kita baca. Gunakan hal yang telah kita ambil untuk
memberikan efek positif dalam diri sendiri, orang lain, nusa, dan bangsa.(aid)