Sabtu, 09 Maret 2013

Kesehatan Emosi Saat Budaya Literasi

                Budaya literasi, sebuah budaya yang digalakkan oleh SMAN 5 Surabaya ini memiliki banyak manfaat dan dampak bagi Smalane. ”Tanpa membaca pendidikan akan mati,” dapat diartikan bahwa membaca ialah batu loncatan bagi suatu keberhasilan pendidikan. Budaya literasi ini mewajibkan Smalane untuk menyisihkan waktu 15 menit dalam sehari untuk membaca buku. Buku yang dimaksud ialah buku novel atau kumpulan cerpen-cerpen. Buku yang dibaca ada yang berjenis fiksi dan non fiksi. Ketika diadakan survey, mayoritas Smalane membaca buku berjenis fiksi. Banyak alasan yang mereka utarakan, misalnya ceritanya unik, alur ceritanya yang tidak biasa, dan banyak kejadian-jadian baru yang mereka dapatkan dari membaca novel. Selain membaca kita juga ikut membayangkan segala peristiwa yang ada dalam novel tersebut. Hal ini dituturkan langsung oleh Erike Anisa Nurshafa dari kelas X.5.
Membahas tentang perkembangan budaya literasi sampai saat ini di SMAN 5 Surabaya, setiap hari para Smalane masih mengikuti budaya tersebut dan karena budaya ini pula banyak Smalane yang menjadi ketagihan dan melanjutkan membaca di rumah. “Budaya literasi dikelasku tergantung guru jam pertama. Kalau gurunya menyuruh membaca, kelasku membaca, dan sebaliknya. Kalau aku sendiri membacanya di rumah, di sekolah menulis resumenya tetapi kadang malas untuk tanda tangannya. Menurutku budaya literasi semakin menurun soalnya tidak ada penyetoran resume tiap bulan pada sekolah,” tutur Erike Anisa Nurshafa. Hal ini berbeda dengan pendapat Naurah X.7, “Lumayan sering melakukan budaya literasi, tetapi bacaan yang dibaca terkadang buku pelajaran karena pada jam pertama akan ada ulangan pelajaran itu. Menurutku budaya literasi ialah budaya yang ditumbuhkan SMAN 5 Surabaya untuk menghasilkan generasi yang gemar membaca.”
Gak tau nih dampak budaya literasi. Tak ada esensinya. Yang terlihat novel semakin berceceran dan suka pinjam novel ditambah suka nge-share novel bagus,” tutur Erike Anisa Nurshafa. “Dapat pelajaran setelah membaca. Emosi juga dipermainkan saat membaca novel fiksi, seperti menangis,” kata Naurah X.7 saat dimintai keterangan mengenai dampak budaya literasi.
                Ternyata tidak mudah membaca fiksi. Mengapa? Dalam cerita fiksi yang sering kita temui, terdiri dari kalimat-kalimat narasi yang menggugah, latar, alur, dan fantasi atau khayalan yang belum pernah kita temui yang membuat emosi kita terasa digelitik. Emosi yang dimaksud seperti kita suka menangis saat membaca cerita yang sedih, tertawa terpingkal-pingkal saat membaca cerita konyol dan komedi, merasa marah saat tokoh dalam cerita melakukan hal bodoh yang membuat tokoh lain dalam bahaya, dan lain-lain. Pernah tidak kalian berpikir bahwa membaca cerita horor membuat kita berada dalam dunia nyata dan dunia khayalan yang dibuat oleh pengarang buku. Tidak sedikit orang yang mencari dan membaca cerita fiksi untuk mempermainkan perasaan yang nantinya akan mengobati dan mencukupi kebutuhan emosi mereka.
                Saat membaca novel atau cerita fiksi lainnya diharapkan pembaca dapat mengendalikan emosinya. Boleh saja menggunakan emosi saat membaca tetapi tidak perlu menggunakannya secara berlebihan. Saat membaca novel atau cerita fiksi tersebut juga harus menyadari bahwa yang ada didalamnya hanya cerita fiksi atau karangan belaka, serta jangan pernah meniru atau terlalu terpengaruh dengan hal-hal seperti itu. Sebaiknya kita harus mengambil hal-hal yang sekiranya bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, nusa dan bangsa.
Dibawah ini ialah tips untuk menjaga kesehatan emosi dalam membaca novel atau cerita fiksi lainnya.
Pertama, novel itu novel, cerita fiksi itu cerita fiksi. Artinya, saat membaca novel atau cerita fiksi semua anggapan atau dugaan bahwa mungkin kisah atau tragedi ini bisa terjadi di dunia nyata bisa dikesampingkan lebih dulu. Menegnai kenyataan atau fakta-fakta dapat didapatkan dari buku non fiksi, koran, dan bacaan yang mengandung kenyataan bukan opini.
Kedua, penting halnya dalam persiapan membaca. Usahakan emosi stabil sebelum membaca novel atau cerita fiksi, terutama yang mengangkat tema atau konflik yang tajam. Kalau memang ingin mencari gelitik emosi dari bacaan-bacaan fiksi, carilah yang tidak monoton, maksudnya emosinya bukan hanya senang atau sedih atau datar saja, tetapi ada kalanya lucu, mengesankan, menyeramkan dan lain-lain, serta nikmati bacaan itu dengan ekspresi. Ternyata ada survey yang membuktikan bahwa pengaruh emosi dari membaca intens buku setebal minimal 50 halaman jauh lebih tinggi daripada menonton film berdurasi 2 jam.
Ketiga , Setelah membaca novel atau cerita fiksi yang lain, cepat-cepatlah kembali ke dunia nyata. Bersosialisasilah serta menghadapi kenyataan yang ada. Fase ini akan membantu membawa skala emosi keluar dari ruang dunia nyata dan khayal untuk kembali mengenali fase-fase emosi yang bisa terasa dengan pengaktivan panca indera secara simultan dan holistik. Angin yang menerpa kulit dan rambut secara langsung akan lebih menyehatkan daripada perasaan semilir yang timbul dari adegan santai di taman di dalam cerita fiksi.
                Yupz, bagaimana Smalane? Sekarang kita telah mengetahui bahwa dalam membaca cerita fiksi atau novel kita melibatkan emosi kita dan sebaiknya kita menjaga kesehatan emosi kita. Kita hidup dalam dunia nyata bukan dalam dunia khayal yang dapat kita tentukan awal dan akhirnya. So, bacalah dan ambil manfaat dari setiap bacaan yang kita baca. Gunakan hal yang telah kita ambil untuk memberikan efek positif dalam diri sendiri, orang lain, nusa, dan bangsa.(aid)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar