Air merupakan salah satu unsur vital
bagi kehidupan manusia. Dari kelimpahan air di dunia, hanya lima persen saja
yang layak dikonsumsi sebagai air bersih dan sisanya merupakan air laut dan air
yang dimanfaatkan manusia untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Namun krisis
air bersih melanda Indonesia, padahal Indonesia merupakan negara yang kaya.
Indonesia memiliki enam persen persediaan air dunia, atau sekitar 21% dari
persediaan air Asia Pasifik, namun pada kenyataannya, dari tahun ke tahun,
Indonesia selalu mengalami krisis air bersih.
Pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan
penduduk di Indonesia yang melaju cukup signifikan tidak diimbangi dengan daya dukung sumber daya
alam. Berbagai masalah yang timbul seperti seperti masalah yang timbul dari
terjadinya krisis air jika dilihat dari faktor perubahan iklim hingga kerusakan
lingkungan yang langsung berimbas dampaknya bagi ekosistem tertentu. Hal tersebut
diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal Kementrian Dalam Negeri, Diah Anggaraeni,
dalam rapat pengelolaan lingkungan hidup daerah wilayah barat Indonesia di
Hotel Kapuas Palace, Pontianak, pada Kamis lalu (7/3).
“Di beberapa negara, karena minimnya
lahan pertanian dan sedikitnya pangan, pada 2025 diperkirakan akan terjadi
krisis air, karena sulit didapat air bersih untuk minum. Perubahan iklim yang
ekstrem akan mulai terasa akibat ketidaksimbangan lingkungan,” kata Diah.
Indikasi krisis air bersih dapat
dilihat dari kondisi air yang digambarkan berdasarkan kualitas air dan
ketersediaan atau volume air yang terdapat di Indonesia yang berkaitan dengan
seberapa anyak air yang dapat dimanfaatkan dibandingkan dengan kebutuhannya. Sedangkan
kondisi air berkaitan dengan kelayakan pemanfaatan air untuk berbagai kebutuhan.
Kualitas air juga berkaitan dengan volume dan daya pulih air untuk menerima
beban pencemaran dalam jumlah tertentu. Dan kelayakan air di Indonesia,
terutama sebagai air minum, sangat memprihatinkan.
Potensi ketersediaan air bersih di
Indonesia dari tahun ke tahun cenderung berkurang akibat rusaknya daerah
tangkapan air dan pencemaran lingkungan yang diperkirakan sebesar 15-35% per
kapita per tahun. Padahal di lain pihak, kecenderungan konsumsi air bersih
justru naik secara eksponensial. Pertumbuhan penduduk juga berpengaruh pada
kebutuhan air bersih yang tersedia.
“Semakin bertambahnya tahun, jumlah
air bersih di Indonesia semakin berkurang. Mungkin salah satu faktor
penyebabnya adalah semakin banyaknya pencemaran yang terjadi dan mungkin lahan
untuk pembangunan juga berpengaruh. Dulu orang bisa langsung minum dari sungai,
sekarang tak semua air dari sungai layak minum. Sekarang air bersih mungkin cuma
dari PDAM,” kata Yayan kelas 11 IPA 8 SMAN 5 Surabaya.
Diah mengatakan, di era
desentralisasi dan otonomu daerah sekarang ini, masalah lingkungan hidup telah
diamanatkan dalam UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 13 dan
14. Ketentuan itu menegaskan bahwa pengendalian lingkungan hidup merupakan
urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi, dan
kebupaten/kota.
“Kami semua melakukan pembangunan. Bahkan
pembangunan dilakukan oleh dunia. Dan, selama ini pembangunan memang nyata
untuk lingkungan,” tuturnya.
“Di satu sisi, dalam melakukan
pembangunan memang harus ramah lingkungan. Pembangunan itu harus sesuai dengan
undang-undang. Hal ini tentunya menjadi tantangan kami semua. Pembangunan itu
merupakan pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan,” tuturnya kembali.
Menurut Yayan, solusinya yang pasti
adalah dengan memimalisir pencemaran. Yang pertama dengan tidak membuang sampah
sembarangan terutama di daerah aliran sungai (DAS), kedua yaitu dengan
melakukan lebih banyak daur ulang pada sampah plastik, ketiga dengan
membersihkan saluran air atau got dan menyaring pembuangan limbah rumah tangga,
keempat dengan menanam banyak pohon karena tanaman berpengaruh banyak untuk
mengurangi pencemaran air, dan semua itu membutuhkan kesadaran diri
masing-masing individu di Indonesia. (aza)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar