Selasa, 02 April 2013

Budaya Literasi di Mata Smalane



                Munculnya Budaya Literasi di Smala, berawal dari kurangnya minat membaca karya sastra di kalangan pelajar. Hal mendasar itulah, yang menjadikan suatu alasan para guru dan staf Smala untuk mengadakan program literasi. Karena tanpa membaca, pendidikan di negara ini tidak akan berjalan sesuai cita-cita reformasi.
                Program Budaya Literasi ini, bertujuan untuk meningkatkan minat baca, khusunya kalangan pelajar dan juga meningkatkan nilai Ujian Nasional Bahasa Indonesia yang sulit bagi siswa untuk mendapatkan nilai sempurna yakni, 10,00. Karena, pada Ujian Nasional Bahasa Indonesia banyak menggunakan soal-soal bacaan seperti, cerita sastra, puisi, berita, dan lain-lain. Sehingga, siswa harus benar-benar mengerti dan memahami bacaan  tersebut sebelum menjawab soal yang tersedia dengan benar dan tepat.
                Teknik pelaksanaan program Budaya Literasi ini, dimulai dari jam ke-0 yakni, 06.30-06.45. Setelah membaca novel, siswa diwajibkan untuk menulis resume dan ditanda tangani oleh guru pengajar di jam pelajaran pertama. Barulah, pelajaran utama dimulai.
                Program literasi ini banyak mendapatkan tanggapan positif dari Smalane. Karena di dalam Budaya Literasi ini, tidak hanya sebatas membaca dan menulis resume. Tetapi juga, Smalane yang giat dalam membaca karya sastra atau novel dan membuat resume yang telah dibaca, akan mendapat penghargaan dari pihak sekolah. Salah satu, Smalane yang mendapat juara 2 dalam banyaknya jumlah buku yang dibaca satu bulan terakhir adalah Imelda X-8, ”Literasi adalah program baru dari Kepala Sekolah Smala yang dapat menambah wawasan dan pengalaman siswanya melalui kegiatan membaca. Literasi secara tidak langsung menambah perbendaharaan kosakata para siswa.” Jelasnya.
                Namun, terdapat  salah satu Smalane yang berpendapat lain, mengenai Budaya Literasi. Yakni, Dea X-8,”Sebenarnya,  program literasi ini sangat baik untuk pelajar terutama Smalane sendiri. Namun, yang jadi permasalahan barunya adalah kita dituntut untuk terus membaca novel selama 15 menit, yang dapat menimbulkan kecanduan untuk membaca novel tersebut terus-menerus. Sehingga, waktu belajar pun terganggu.” Ungkapnya.
                Meskipun banyaknya tanggapan dan komentar Smalane tentang budaya literasi, program literasi merupakan program yang telah dicanangkan oleh pihak sekolah  yang harus ditaati oleh pelajar. Namun, ada baiknya juga apabila sekolah juga mempertimbangkan aspirasi-apsirasi dari siswa-siswinya. Agar menimbulkan kesinambungan mengenai pemikiran siswa dan pihak sekolah.(ddy)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar