Judul
diatas mungkin menimbulkan tanda tanya bagi orang yang membacanya. Sesungguhnya
sayapun melewati proses itu. Untuk merangkai kata-kata
tersebut menjadi sebuah judul yang dapat dipahami dengan mudah, saya melewati
proses bertahap. Mudah-mudahan tulisan dibawah dapat mewakili judul diatas.
Bagi sebagian besar orang di Indonesia, pemakai
abaya hitam yang menutupi tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, selalu
dikaitkan dengan penganut aliran ekstrem. Persepsi ini muncul karena abaya
hitam secara kontras kelihatan berbeda dengan cara berpakaian orang Indonesia
lain pada umumnya. Mereka, para pemakai abaya hitam itu selalu dianggap eksklusif, baik dari cara
berpakaian maupun kehidupan mereka. Saya termasuk orang yang sedikit banyak
terpengaruh oleh persepsi itu.
Persepsi
saya berubah ketika saya berlibur ke Riyadh ibukota negara Saudi Arabia. Di
negara ini, abaya hitam menjadi norma yang wajib dipakai sehari-hari oleh para wanita
Arab di negara itu. Warna lain menjadi terlihat asing , seperti yang saya
alami. Kerudung berwarna yang saya pakai mengundang pandangan semua mata
kesaya. Belakangan saya tahu alasannya, karena saya berbeda dengan norma
berpakaian mereka.
Di kota ini, abaya berwarna hitam tidak cuma
sekedar abaya, tetapi abaya berwarna hitam dengan jilbab yang juga berwarna
hitam adalah dress code yang umum
dipakai oleh para wanita di setiap lapisan masyarakat. Siapapun mereka. Tidak
ada batas dan perbedaan, karena semua wanita wajib memakai abaya setiap keluar
rumah dan ketika pergi ke tempat umum. Kesan eksklusif seperti yang saya lihat
dan rasakan ketika di Indonesia terhadap pemakai abaya menjadi pudar. Jika di
Indonesia, memakai abaya hitam adalah suatu pilihan pribadi, di Saudi Arabia
memakai abaya hitam adalah kewajiban yang diatur lewat kebijakan Pemerintah
Kerajaan Arab Saudi.
.
Lalu apakah abaya berpengaruh terhadap gerak dan gaul para wanita Arab ini?
Saya berhasil mengamatinya lewat kunjungan-kunjungan saya ke beberapa tempat
umum dikota itu terutama di mal. Kehidupan di kota Riyadh sendiri baru mulai
sehabis shalat Isya. Pagi hari hingga sore hari, Riyadh seperti kota mati, jalanan
sepi, pertokoan banyak yang tutup layaknya kota tanpa penghuni. Akan tetapi saat
malam hari menyapa, jalanan di pusat kota Riyadh ramai seramai jalanan Jakarta
setiap waktu. Pusat keramaian dan tujuan utama penduduk Riyadh adalah mal untuk
pasar atas (upscale) yang didisain
cantik dan luas. Saya pergi ke salah satu mal di Riyadh, Panorama Mall. Saya
ingat ada satu saat dimana ketika saya tiba di pusat perbelanjaan itu mata saya
serasa berada di tempat yang suram. Mengapa demikian? Dikarenakan, sejauh mata
memandang, yang saya lihat hanya para perempuan yang semuanya mengenakan abaya
hitam. Diantara para pemakai abaya hitam , saya juga banyak melihat para wanita
Arab yang menggunakan cadar hitam. Sehingga jika dilihat-lihat secara keseluruhan,
para wanita ini seperti membawa selubung hitam yang dapat berjalan. Kesuraman
warna hitam yang dibawa oleh para wanita tersebut tidak dapat dikalahkan oleh
cahaya lampu toko-toko brand international yang saling berkompetisi menjual
produknya. Menariknya, bagi saya yaitu, para wanita Arab berselimut hitam ini,
hilir mudik di mal besar tersebut dengan tas-tas belanja bertanda merek
terkenal yang terdapat di mal itu.
Tangan
mereka di kiri kanan penuh dengan tas belanja besar kecil bertanda kemewahan.
Saya tertegun menyaksikan gaya belanja mereka. Mereka terlihat seperti histeris
akan belanja. Maksudnya histeris akan belanja yaitu kelihatannya tingkat
konsumsi mereka untuk berbelanja dan daya beli mereka sangat tinggi. Seringkali
saya melihat para ibu dimana tangan yang satu digunakan untuk menggandeng
anaknya, sedangkan tangan yang lain digunakan untuk membawa berbagai belanjaan
dari berbagi macam brand. Mereka
membeli berbagai macam brand seperti
Michael Kors, Zara, Tods dan Bath and Beyond dll. Tidak jarang juga sang anak
ikut membantu ibunya membawa belanjaan tersebut. Ini adalah satu hal yang berbeda
yang saya temukan disini. Jika di Indonesia pemakai abaya hitam terlihat sangat
sederhana dan tampil seadanya, disini mereka adalah orang-orang yang dapat
berbelanja berbagai produk dengan brand internasional terkenal. Saya lantas bertanya-tanya
dalam hati, “apakah mereka membeli baju bukan abaya, dan jika iya dan pasti
iya, pada kesempatan kapan mereka akan memakai baju non abaya yang branded itu?”
Pertanyaan
saya itu terjawab dengan sendirinya ketika saya pergi ke mal bernama Kingdom
Tower. Mal ini dipenuhi oleh berbagai macam toko berkelas internasional yang jauh
lebih banyak dibanding mal sebelumnya, dengan target pembeli yang jauh lebih high class. Salah satu keunikan di
Kingdom Tower mal tersebut adalah terdapat
ladies floor yang khusus untuk. wanita.
Lantai tersebut dijaga oleh satpam dan hanya perempuan yang boleh menikmati
lantai tersebut. Didorong oleh rasa ingin tahu, saya naik ke ladies floor tersebut. Pemandangan di
lantai itu membuat saya terkaget-kaget. Lantai itu dipenuhi oleh para wanita
yang sudah tidak lagi berbalut abaya hitam seperti ketika mereka berada di
lantai bawah yang non ladies floor. Mereka tidak lagi mengenaikan abaya,
sekarang mereka memakai baju-baju modis seperti layaknya baju baju lain yang
non abaya. Model dan warnanya pun bermacam-macam, jauh dari warna abaya hitam
yang monoton.
Jadi ini jawabannya. Para wanita ini membeli baju branded untuk dikenakan pada saat mereka mengadakan acara antar sesama wanita,
sehingga mereka pun juga ingin membanggakan pakaian yang mereka kenakan. Pasti
mereka juga mengenakannya dirumah ketika mereka berhadapan dengan muhrim
mereka. Keluar rumah mereka kembali mengenakan abaya hitam yang seolah menjadi
seragam bersama. Jadi saya tahu sekarang, bahwa di balik abaya hitam yang dikenakan
oleh para wanita di Arab, terdapat baju-baju modis bermerek internasional yang up to date. Di balik balutan abaya hitam
seorang perempuan Arab ternyata, terdapat kemewahan tiada tara.(fbi)