Sabtu 26 Mei kemarin hasil UNAS SMA serentak diumumkan
di seluruh nusantara. Bisa ditebak, rasa syukur tak henti dilantunkan karena 100%
Smalane kelas XII lulus dengan nilai yang memuaskan. Namun esok harinya, para
Smalane mulai dari guru hingga murid-muridnya dibuat gerah. Penyebabnya, satu headline di sebuah surat kabar ternama
di Indonesia ini cukup menohok sekolah-sekolah yang selama ini dikenal memiliki
prestise yang tinggi, tak terkecuali SMAN 5 Surabaya; “Sekolah Reguler Kalahkan
RSBI”. Ada apa?
Tahun
ini, nilai UNAS tertinggi memang didominasi oleh sekolah reguler yang bahkan
reputasinya saja jauh jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah RSBI. Namun
fakta di lapangan berkata lain. Tak urung, para Smalane yang sudah menggelegak
ubun-ubunnya pun tak sungkan mengatakan bahwa meskipun peringkat mereka bukan
yang terbaik, setidaknya nilai itu didapatkan dengan cara yang jujur, murni
berasal dari kerja keras dan kemampuan mereka.
INTENSIF : Potret siswa yang sedang mengerjakan latihan soal (als) |
“Namun jika dicermati tiga tahun ini, SMAN 5
nyaris tak pernah berada lagi di peringkat 1.”
Sebaris
kalimat dalam artikel surat kabar tersebut seolah menegaskan bahwa UNAS masih
menjadi tolok ukur bagi pemerintah maupun media untuk menilai tingkat
keberhasilan suatu sekolah. Yang menjadi kontroversi adalah apakah dengan
adanya fakta bahwa menjauhnya Smala dari peringkat atas nilai UNAS menunjukkan
kualitas Smala yang menurun pula?
“Kalau kita memang memiliki kemampuan yang maksimal, kita pasti bisa membuktikan bahwa bocoran sehebat apapun tidak akan menggoyahkan reputasi kita sebagai sekolah terbaik. Nyatanya meskipun kita jujur, toh mau tidak mau kita harus mengakui bahwa kemampuan kita yang jujur itu terbukti masih di bawah mereka yang tidak jujur,” – Bu Mei (Rabu, 30 Mei 2012; saat pembelajaran Geografi di X-2)
Pendidikan
dan media boleh jadi saling tutup-menutupi, berlomba menyorotkan lampu spotlight pada satu objek yang sedang
layak tonton sementara banyaknya cacat proses belajar-mengajar yang lain
disembunyikan di dalam gelapnya panggung pendidikan. Nilai UNAS yang begitu
tinggi dan prosentase kelulusan yang nyaris 100% di Surabaya menggelapkan
kenyataan bahwa joki dan bocoran soal masih berkeliaran di detik-detik
menjelang UNAS setiap tahunnya. Namun kita patut berbangga, karena jumlah siswa
Smala penerima SNMPTN Undangan termasuk kedua yang tertinggi di Surabaya dengan total
53 siswa. Tak tanggung-tanggung, berbagai fakultas dengan passing grade tertinggi seperti FK UI, FK UA, FTI ITB, dan FTTM ITB
berhasil diraih oleh mbak-mas Smalane kelas XII. Dengan kejujuran, mereka membuktikan
bahwa kualitas mereka tak hanya terbatas UNAS, melainkan persaingan dengan
ribuan calon mahasiswa Indonesia lainnya untuk menempati bangku di berbagai
universitas bergengsi.
Tinggal
kita sebagai Smalane yang akan membuktikan, apakah integritas dan kejujuran
kita mampu menggeser anggapan bahwa bertindak jujur saat UNAS tak akan mendapat peringkat tinggi baik di tingkat kota, provinsi, maupun nasional. Di zaman sekarang, bertindak jujur layaknya berjudi
dengan nasib—kita tak tahu apakah kebaikan yang kita pertaruhkan itu akan
menuai buah yang manis ataukah menjadi bumerang yang siap menyerang kita
setelahnya. Namun dengan kejujuran, pada akhirnya kitalah yang kemudian akan mampu menyanyikan lagu 'Smalane suci dalam pikiran, Smalane benar jika berkata, Smalane tepat dalam tindakan, Smalane dapat dipercaya' sambil tersenyum penuh kebanggaan. (cay)