Pendidikan formal yang begitu
disanjung-sanjung selama ini ternyata tidak sepenuhnya menjamin seseorang untuk
memiliki kehidupan karir yang bagus, lho.
Kok bisa?
Seperti kita
tahu, pendidikan di Indonesia selama ini hanya mengedepankan teori dan sedikit
sekali memerhatikan aspek praktek di kehidupan nyata. Padahal menurut
penelitian dari Universitas Harvard, kesuksesan seseorang ditentukan oleh 80% soft skill (kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain dan berorganisasi) sementara hard skill atau ilmu pendidikan formal
hanya mendapat porsi 20% saja. Untuk itu, Smala menyediakan wadah bagi mereka
yang ingin mengasah soft skill berupa
adanya berbagai macam kepanitiaan.
Di
Smala, total ada 27 kepanitiaan dari skala lokal (khusus untuk Smalane saja)
hingga provinsi yang diadakan rutin setiap tahunnya. Maka itu tak heran jika di
Smala budaya untuk terlibat dalam kepanitiaan begitu mengakar erat. Bahkan tiap
ada kepanitiaan, para Smalane seakan berlomba-lomba untuk terlibat di dalamnya karena bagi sebagian siswa, kepanitiaan ibarat miniatur dunia nyata untuk menjadi ajang pembuktian kualitas diri. Tradisi liqo’ atau rapat dengan cara duduk di lantai dan membentuk lingkaran juga semakin
menguatkan bahwa Smala memiliki ciri khas kepanitiaan yang jarang ada di
sekolah lain. Tetapi selain untuk mengisi waktu luang, apa saja sih manfaat
dari mengikuti kepanitiaan?
RAMAI: Para siswa kelas X sedang berkumpul saat istirahat. (als)
SERIUS: Suasana diskusi (liqo') panitia Senyuman 2012. (als)
Dalam suatu kepanitiaan selalu ada Badan Pengurus Harian (BPH) yang biasanya terdiri dari ketua, wakil, sekretaris, bendahara, pengawas, serta koordinator divisi. Bila kita menjadi salah satu dari BPH tersebut, kita mendapat wewenang dan amanah lebih untuk mengatur anggota-anggota di bawah kita sehingga tanggung jawabnya pun lebih besar pula. Apalagi jika kita adalah ketuanya, maka kita bertanggung jawab penuh atas keberhasilan maupun kegagalan kepanitiaan tersebut. Dan disinilah kemampuan kepemimpinan kita diuji. Seorang pemimpin harus mampu mengendalikan dan memahami seluruh anggotanya serta membuat keputusan yang tepat dalam situasi apapun.
Meski begitu, anggota atau panitia lain selain BPH jangan dianggap remeh, karena ibaratnya mereka adalah ‘mesin’ yang menggerakkan suatu kepanitiaan. Dibawah naungan koordinator divisi, para panitia bertugas menjalankan tugas yang diberikan sesuai dengan divisinya. Sekecil apapun suatu tugas, jika tidak diselesaikan maka kepanitiaan tersebut tidak akan berjalan dengan maksimal. Dengan menjadi panitia (di divisi apapun), kita belajar bekerja dalam tim, berkomunikasi dengan berbagai macam karakter orang, dan menjalankan tugas secara profesional.
“Awalnya aku ikut kepanitiaan buat nambah pengalaman. Ternyata setelah ikut aku bisa kenal banyak orang, juga dapet ilmu-ilmu baru yang nggak diajari waktu pembelajaran biasa,” kata Tsana Nadhira Susanto yang hari Minggu, 6 Mei, kemarin bertugas sebagai panitia Acara Bahasa Indonesia S2LC. “Selain itu, kemampuan berorganisasi kan bisa dipakai di masa depan. Setelah ikut kepanitiaan aku juga jadi bisa ngatur waktu,” sambung Deshya Erdia.
Di zaman sekarang, angka-angka di rapor bukan lagi satu-satunya penentu keberhasilan seseorang di masa mendatang. Bahkan perusahaan-perusahaan ternama pun saat ini lebih memilih orang-orang dengan kemampuan berorganisasi yang mumpuni dibandingkan dengan mereka yang hanya bermodalkan IP tinggi di bangku kuliah. Kebanyakan mereka yang hanya pintar secara akademis tanpa memerhatikan soft skill pada akhirnya hanya akan berakhir di golongan pengangguran terdidik yang kini mulai banyak ditemui di masyarakat. Fokus belajar sah-sah saja, tapi tetap harus diimbangi dengan soft skill yang baik pula karena penerapan ilmu-ilmu di ijazah kita tetaplah di dunia nyata yang dinamis, bukan di dunia yang melulu berkutat dengan nilai dan teori. (cay)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar